Minggu, 12 Desember 2010

B. NISTA

APRIL, 1994


Beberapa jam setelah Indri minum pil kedua yang di berikan Johan, Wajah-nya mulai terlihat begitu pucat pasi menahan rasa sakit dan mual yang begitu kuat melilit di lambung dan menguras rahimnya.

“Kenapa?” Tanya Johan.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata berniat menjawab pertanyaan kekasih yang juga merupakan kakak kelasnya pada sebuah sekolah yang sama, Indri kemudian berlari menuju kamar mandi yang letaknya di sebelah kiri kamar Hotel tempat mereka berdua menginap.
Dengan terburu-buru Indri yang mengenakan Rok mini berwarna Merah muda, bersegera membuka celana dalamnya dan berjongkok dilantai kamar, kedua matanya sayu dan terlihat lelah dalam kecemasan memandang pasti kearah paha yang dibukanya lebar-lebar.

Darah segar mengalir membasahi lantai kamar mandi dan pahanya, darah itu seakan tak dapat dibendung terdorong oleh sesuatu kekuatan yang melilit di perutnya. Ketakutan mulai muncul dari segala bayangan yang terlukis menghantui benak gadis belia yang baru saja menginjak usia delapan belas tahun itu. Terbayang olehnya sesuatu yang buruk terjadi menimpa dirinya dan bahkan ketakutan maut akan mengakhiri hidupnya akibat dari perbuatannya menggugurkan kandungan dengan cara meminum sembarang obat tanpa petunjuk bidan apalagi resep dokter ahli kandungan. “Oowh Tuhan Ampuni aku, Jangan dulu Kau ambil nyawaku” kegelisahan dan penyesalan seakan tak henti berbisik menghantui di hati, terbayang kedua orang tua dan seluruh sanak saudaranya seakan mengintip ketus memandang ke arah Indri, “Ma’af” hanya itu yang sempat tercibir dari mulut Indri sebelum kemudian mereka beranjak pergi seakan tak perduli dengan dirinya yang kini tengah bermain dengan mautnya sendiri.

Sementara itu Johan hanya mampu berdiri di balik muka pintu kamar madi menunggu kabar dari Indri dalam kecemasan tapa bisa berbuat apa-apa.

“Sayang.. Kamu baik-baik saja?”
Dari dalam kamar mandi tak terdengar suara sahutan apapun, hanya rintihan saja yang sesekali keluar dari mulut Indri pelan dan tertahan.

Johan berjalan kesana kemari menahan rasa gelisah dan kekhawatiran terjadi sesuatu terhadap Indri, “Arghhh.., astaga.. My God.. Please Help me” Gerutu Johan sambil menjambak rambut ikalnya dengan kedua tangan dan menengadahkan wajahnya ke langit-langit kamar.

Selang beberapa menit kemudian terdengar suara guyuran air menyiram lantai kamar mandi, namun selanjutnya kembali terdengar rintihan Indri, darah segar kembali dilihatnya mengalir membasahi lantai kamar, kali ini disertai gumpalan-gumpalan darah berwarna merah ati. Ketakutan menyaksikan gumpalan-gupalan tersebut belumlah reda, tiba-tiba Indri merasakan perutnya seakan di kuras kencang-kencang, daerah kemaluannya merasakan ada sesuatu yang mengganjal dan memaksa hendak keluar dari rahimnya.

“Aaauwgh...”
Erangan kuat dari bibir yang tergigit menahan rasa sakit tak mampu dia bendung lagi, wajah dan tubuhnya mulai dipenuhi bintik keringat dingin di seluruh lobang pori-pori kulitnya.

“Sayang ambilkan kain itu.!”
Teriak Indri kepada Johan saat dia melihat sebuah gumpalan daging calon janin yang ukurannya sekepalan tangannya keluar di iringi pendarahan dan gumpalan-gumpalan lain dengan ukuran lebih kecil berwarna merah hati.

"Iya, sebentar aku ambilkan"
"Cepat.!"
Dengan segera Johan berjalan setengah berlari ke arah meja kecil yang terletak disamping tempat tidur tempat dimana Indri menyimpan tas gendong miliknya, setelah menemukan kain pernel yang dimaksud Indri, Johan-pun segera kembali ke kamar mandi menghampiri Indri yang tak sabar menunggunya.

"Sayang cepat..!" teriak indri.
"Iya..!, ini.." Seraya Johan memberikan kain pernel tersebut kepada Indri yang hanya mengeluarkan tangannya dari sela lobang pintu kamar mandi.

“Kamu baik-baik saja ndri? Tanya Johan ketika menyaksikan kekasihnya dari balik pintu kamar mandi yang sedikit terbuka dengan wajah pucat dan berderai keringat di kening, dagu dan hidungnya.

“Ambilkan Kantong Plastik bekas bungkus makanan itu juga say..” pinta Indri kemudian.
“..I..Iya, baik.” Dengan tergesa pula Johan segera kembali mengambil kantung plastik yang Indri minta.

Beberapa saat kemudian Indri keluar dari kamar mandi melangkah gontai, tubuhnya terasa lemah, dengan wajah yang pucat Indri menenteng sebuah bungkusan kantong plastik berwarna hitam di dalamnya terbungkus janin oleh kain pernel yang sudah basah dengan air bercampur darah segar. Johan-pun bersegera menghampiri Indri dan membopong tubuh Indri ke arah tempat tidur, disekanya keringat yang membasahi wajah Indri dengan saputangannya.

Kamu benarkan Janji akan menikahiku kak Johan?
Ya aku janji sayang, segera setelah aku lulus sekolah ndri..” Kemudian dikecupnya kening Indri lembut dan kini mata Indri terpejam lelah.

a

SATU MINGGU KEMUDIAN,
“PLAAK..!” Tamparan keras bersarang di pipi Johan yang saat itu tengah asik bercanda ria di sudut lapangan basket komplek sekolah bersama tiga teman sekelasnya.

“Apa maksud dari semua ini..!” hardik Indri. sepucuk kertas surat lecek dan sudah berbentuk bulat diremas gemas Indri lempar ke arah muka Johan yang kaget dan belum juga reda merasakan sakit di pipinya.

“Kamu kenapa beib?” tanya Johan meringis menahan rasa sakit, tangan kanannya masih terlihat megangin pipinya yang merah memar.“Dasar bajingan, masih sempat kamu bertanya kenapa setelah jelas-jelas terbukti hendak menghianati janji kamu untuk menikahi aku..”“Bukti apa?”“Baca surat kamu itu, apa maksud kamu mengirimkan surat itu kepada Diana dan ngata-ngatain aku bahwa aku sudah bukan apa-apanya kamu lagi”“Apa!?" Johan terlihat kaget.
"Darimana kamu dapat surat ini? Tanya Johan, matanya liar ke setiap sudut area pekarangan sekolah seakan mencari seseorang, Wajahnya nyengir merasakan sakit di pipinya yang masih terasa panas akibat tamparan Indri tadi.

Kemudian pandangan Johan terhenti ketika dia melihat sebuah objek yang di carinya tengah berdiiri beberapa meter dari tempatnya , Diana tersenyum ketus bersama puluhan mata teman-teman sekolahnya memandang ke arah Johan dengan penuh tanya, Diana seakan puas, Sorot matanya yang tajam memandang kearah Johan sambil mengacungkan jari tengah kanannya seakan dia berkata “Eh Play boy rasain lo.., gue yang kasih itu surat sama Indri salah satu Pacar yang selalu lo kibulin dari sekian banyak perempuan pelepas Nafsu bejad-mu itu.!”
Begitu geram hati Johan, namun saat itu dia tak mampu berkata apa-apa, Johan hanya terdiam cengengesan malu dan marah bergumul jadi satu, dia seolah tengah ditelanjangin di depan teman-temannya oleh makian dan hardikan Indri yang terus nyeroscos di iringi isak tangis yang terdengar Fals di telinga Johan.

“Teganya kamu mau hianati aku setelah seluruh miliku kuberikan padamu?”“Ndri..dengar dulu penjelasan..”“Dimana kelembutan hatimu selama ini Johan.?”“Ndri tolong..aku.."“Kenapa kamu berani berbuat begini, padahal belum genap seminggu kamu ucapkan janji untuk setia dan menikahiku??”“Ndri..aku!!”“Apa salahku Johan?“Dimana Perasaanmu laki-laki buaya!?” Ocehan dan Makian Indri seakan tak mau terhenti walau Johan sudah mencoba menenangkan Indri dan mulai memamerkan mimik wajah iba-nya, hingga akhirnya..
“Stoop..!” potong Johan.
“eh loe denger ya, sekarang gue yang mau ngomong sama loe, cape telinga gue denger ocehan loe dari tadi yang Fals itu”

Indri terdiam kaget mendengar bentakan Johan.
“Mulai saat ini kita Putus..!”“Apa..!?” tanya Indri menahan tangis dan kaget mendengar ucapan johan yang terasa menggelegar di telinga, dadanya sesak dan pikirnya tak percaya dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Johan barusan.

“Budek loe ya? Ki-ta PUTUS..!” ulang Johan setengah menegaskan seperti hakim yang menjatuhkan vonis tetap terhadap terdakwa.
“Plaak..!” kembali satu tamparan mendarat di pipi Johan, akan tetapi kali ini Johan membalas tamparan Indri dengan satu tamparan yang lebih keras ke pipi kiri Indri, hingga Indri terhuyung jatuh dan menangis memegang pipinya yang terasa panas, sakit tamparan Johan di pipi Indri tidaklah lebih sakit dengan hati yang terasa bagai di iris sembilu atas tindakan kasar Johan siang itu terhadapnya.

“Dengar ya wanita jalang, sekali lagi loe berani nampar gue di muka umum, gue kagak bakalan segan menghajar lo sampai babak belur” hardik Johan yang tak sedikitpun terlihat iba atau belas kasihan melihat Indri menangis tersedu-sedu.

Tak ada seorangpun yang berani berkomentar apalagi ikut melerai derama adu tamparan Indri dan Johan tersebut, padahal disana ada beberapa teman Indri dan teman Johan menyaksikan kejadian itu.

Johan kemudian berlalu pergi bersama tiga orang teman komplotannya meninggalkan Indri yang tengah terisak menangis sendiri di tengah puluhan tatapan iba teman-teman-nya.

a

Udara panas membuat Sultan makin merasa kesal dibuatnya. Kemudian dia keluar dari mobilnya yang terpaksa harus mendadak dia hentikan di bahu jalan, kebetulan saat itu jalanan terlihat lenggang.

Sultan berjalan kearah ban belakang samping kanan mobil.

“Sial..!” hardiknya, setelah mengetahui ban mobil itu benar-benar kempes seperti dugaannya.

Ia kemudian kembali berbalik bermaksud mengambil dongkrak di dalam bagasi, akan tetapi tiba-tiba..”Braak..!” Diana yang berlari tunggang langgang menjauhi kejaran Johan menabrak tubuh Sultan.

“Awwh..” teriak Sultan kaget.
“Kak tolong saya kak.” Diana memohon, tangan nya memegang erat pergelangan tangan Sultan yang masih kaget.

“Tolong apa?, kamu kenapa?”
Diana tak segera menjawab, matanya kemudian menoleh kebelakang ke arah Johan yang terlihat berjalan setengah berlari mengejarnya.

“Kamu kenapa?” kembali Sultan bertanya kepada Diana yang waktu itu sudah berlindung di belakan tubuhnya.

“Kemari kau Diana..!” teriak Johan tampak semakin mendekat. 

Selang beberapa detik kemudian,
“Sini kamu, kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu tadi pagi..!” hardik Johan, tangannya berupaya meraih tangan diana yang bersembunyi dibalik tubuh Sultan, akan tetapi..

“Mas..mas .. sebentar, ada apa ini?” Sultan menepis tangan Johan.
“Eh lo.. lo ngak usah ikut campur ya.!” Bentak Johan dan berniat kembali menarik tangan Diana.

“Saya saudaranya Diana, jadi hak saya dong lindungin dia..!” jawab Sultan yang kembali menepis tangan Johan.

Mendengar jawaban Sultan, Diana yang makin mepet ke punggung Sultan kaget, akan tetapi dia memuji kecerdasan pemuda yang kini melindungi dirinya itu. 

“Dari mana pemuda ini tau nama gue, ach masa bodoh.. yang penting gue terhindar dari bahaya si babi buntung yang lagi ngamuk ini” gumam hati Diana.

Johan menatap tajam ke arah Sultan, kulit keningnya mengkerut, jari tangan kanannya menggaruk-garuk dagunya seakan dia tidak percaya apa yang baru saja Sultan katakan.

“Owh, baru tau gue diana punya saudara”, sindir Johan, “eh bilang yak sama sodara kamu itu, kalo ngak mau ama gue bilang aja, tapi ngak mesti malu-maluin gue dimuka umum gitu”

“Yee..siapa juga yang malu-maluin lu, bukan gue kali tapi pacar lo itu si Indri yang maki-maki lo tadi pagi di muka umum,” Bantah Diana yang mulai berani nampilin mukanya di dari balik tubuh Sultan.

“Tapi lo kan yang membuat jalannya hingga dia berbuat begitu?”
“Lo kali yang bikin ulah, pake bilang Cinta sama gue segala, padahalkan hampir semua siswa tau lo tuh pacarnya Indri”

“Masih ngeyel juga, mau gue hajar kayak Indri tadi pagi juga rupanya lo ya!?”, kembali amarah Johan meledak, akan tetapi langkahnya yang berniat nyamperin Diana tertahankan tangan kekar Sultan.

“Mas..mas..mas sabar mas, jangan kasar begitu dong sama perempuan, mas kan tahu kalau kaum hawa itu tercipta dari tulang rusuk kaum kita, mereka lemah perlu perlindungan, akan tetapi mereka lembut bila berkasih sayang, saya tidak bermaksud ikut campur urusan kalian, akan tetapi saya berkewajiban mendamaikan kalian, kalian kan satu sekolahan, ngak baik ribut-ribut, mending sekarang kalian salaman dan berdamai..Bagaimana?” lerai Sultan dengan senyum ramah ke arah Johan.

Johan terdiam, tak lama berselang dia kemudian membalikan badannya dan berlalu meninggalkan Sultan dan Diana, akan tetapi dari sorot matanya masih tersimpan kekesalan yang tertahan.

“Makasih kak sudah bantuin diana..”

“I..Iya.., Hey..! teriak Sultan memanggil Diana yang secara tiba-tiba pergi setengah berlari kearah yang berlawanan dengan arah perginya Johan.

Diana hanya menoleh sebentar sambil melemparkan senyum manja, dia kembali berjalan jingkrak setengah berlari meninggalkan Sultan yang hanya geleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. 

a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar